tag:blogger.com,1999:blog-82468179879325113892024-03-08T06:34:21.630-08:00ponpon syalala :)saya hanyalah pelajar sma yang iseng membuat blog untuk jadi tempat curahan semua cerita bahagia, sedih, maupun pengalaman aneh saya . :Dponpon syalala :)http://www.blogger.com/profile/13081720619708324804noreply@blogger.comBlogger7125tag:blogger.com,1999:blog-8246817987932511389.post-55199040834105432752011-03-31T04:01:00.003-07:002011-03-31T04:01:42.468-07:00Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Sekarang, </span><span id="more-22"></span><span>pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. </span><span>Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. </span><span>Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku <em>manyun</em> sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini <em>mah</em> tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” </span><span>Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan <em>ehm, oh, begitu ya…</em> Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. <em>Aku izin ke rumah ibu</em>. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. <em>Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu</em>. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan <em>cool</em> seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. <em>Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai</em>. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span> </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Aku ingin mencintaimu dengan sederhana</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Lewat kata yang tak sempat disampaikan</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Awan kepada air yang menjadikannya tiada</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Aku ingin mencintaimu dengan sederhana</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Dengan kata yang tak sempat diucapkan</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span> </span></div><em></em>ponpon syalala :)http://www.blogger.com/profile/13081720619708324804noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8246817987932511389.post-89718182469742059182011-03-31T04:01:00.001-07:002011-03-31T04:01:01.831-07:00Aku ingin mencintaimu dengan sederhana,<div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Sekarang, </span><span id="more-22"></span><span>pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. </span><span>Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. </span><span>Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku <em>manyun</em> sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini <em>mah</em> tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” </span><span>Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan <em>ehm, oh, begitu ya…</em> Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. <em>Aku izin ke rumah ibu</em>. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. <em>Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu</em>. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan <em>cool</em> seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. <em>Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai</em>. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span> </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Aku ingin mencintaimu dengan sederhana</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Lewat kata yang tak sempat disampaikan</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Awan kepada air yang menjadikannya tiada</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Aku ingin mencintaimu dengan sederhana</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Dengan kata yang tak sempat diucapkan</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span>Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 36pt;"><span> </span></div><em></em>ponpon syalala :)http://www.blogger.com/profile/13081720619708324804noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8246817987932511389.post-91945973711122107302011-03-31T03:42:00.000-07:002011-03-31T03:42:07.374-07:00I Will Fly - Ten 2 Five :)<span style="background-color: magenta; font-size: large;"><span style="background-color: magenta;"></span><span style="background-color: white; color: magenta;">You know all the things i’ve said</span></span><br style="background-color: white; color: magenta;" /><span style="background-color: white; color: magenta; font-size: large;">You know all the things that we have done<br />
And things i gave to you</span><span style="background-color: white; color: magenta;"></span><br />
There’s a chance for me to say<br />
<span style="color: red; font-size: x-large;">How precious you are in my life</span><br />
And you know that it’s true<br />
<br />
To be with you is all that i need<br />
Cause with you, my life seems brighter and these are all the things<br />
I wanna say...<br />
<br />
<span style="color: red; font-size: x-large;">I will fly into your arms</span><br />
And be <span style="color: red; font-size: large;">with you</span><br />
Til' the end of time<br />
Why are you so far away<br />
You know it’s very hard for me<br />
<span style="color: magenta; font-size: x-large;"><span style="font-size: large;">To get myself close to you</span></span><br />
<br />
<span style="color: magenta; font-size: large;">You’re the reason why i stay</span><br />
You’re the one who cannot believe<br />
<span style="color: red; font-size: x-large;">Our Love will never end</span><br />
Is it only in my dream?<br />
You’re the one who cannot see this<br />
<span style="color: magenta; font-size: large;">How could you be so blind?</span><br style="color: magenta;" /><br />
<span style="color: red; font-size: x-large;">I will fly into your arms</span><br />
And be <span style="color: magenta; font-size: large;">with you</span><br />
Til' the end of time<br />
Why are you so far away<br />
You know it’s very hard for me<br />
<span style="color: magenta; font-size: large;">To get myself close to you</span><br />
<br />
I wanna get<br />
I wanna get<br />
<span style="color: red; font-size: x-large;">I wanna get myself close to you ...</span><br style="color: red;" />ponpon syalala :)http://www.blogger.com/profile/13081720619708324804noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8246817987932511389.post-70423172580102061002011-03-22T05:17:00.000-07:002011-03-22T05:17:46.587-07:00aku ga ngerti harus mulai dari mana . aku gatau apa yang harus aku lakuin . aku ngga tau apa yang harus diikuti ato ditinggalin . aku ngga tau apapun . capek aku jadi orang yang baik . percuma juga kan aku jadi orang baik tapi engga ada yang mau merhatiin aku ? percuma aku jadi baik, hasilnya ? AKU DICUEKIN . aku engga suka di cuekin . sapa seh orang di dunia yang mau-maunya dicuekin sama orang di sekitarnya ? kalian juga engga mau kan ? kalo gitu ya jangan CUEK dong jadi orang . paling juga kalo aku ngomong cuma ditoleh terus dibiarin mau ngomong model kayak gimana . kapan seh kalian berhenti CUEK ? aku lho engga bermaksud nuduh kalian CUEK sama aku . tapi liaten aa . orang kalo ketemu aja pada sibuk sendiri-sendiri . yang pacaran lah, yang belajarlah, yang buru-burulah . paling cuma beberapa anak yang lagi pacaran yang INGET buat ngedengerin aku . yang lain ? NOL . yang engga pacaran aja pad bingung sama masalahnya sendiri-sendiri engga mau ngedengerin masalah orang lain . gitu itu katanya SEHATI, SEPENANGGUNGAN. apane seng sepenanggungan ?? sepenanggunganmu cuma pas SUKA rek ! pas DUKA coba . sapa yang peduli ? paling juga cuma itu-itu aja . INTINYA, menurutku kalian belum SEHATI, belum SEPENANGGUNGAN, capek aku rek kalo cuma itu-itu aja yang peduli sama aku . yang lain lho pada kmana ? kalian juga engga mau kan dicuekin ? KALO GITU JANGAN NYUEKIN ORANG LAIN .ponpon syalala :)http://www.blogger.com/profile/13081720619708324804noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8246817987932511389.post-44932860435270619822011-03-22T00:12:00.000-07:002011-03-22T00:12:26.505-07:00terima kasih ya ALLAH . :)terima kasih ya <b>ALLAH </b>buat semuanya . buat orang tua yang sayang aku, buat adek yang selalu bikin aku senyum, sahabat yang selalu bikin aku tenang, temen angkatan paskibra yang selalu aseeeeeek, temen sekelas yang udah buaaaaaeeeeeeeeeeek bangeeeet sama aku, <b>LYLA</b> yang selalu alay bareng<b> </b>aku, <b>SARAH</b> yang mesti heboh bareng aku, <b>NAVES</b> yang buaaaaeeeek sama aku,<b> NADA</b> yang mesti nafsu aku (huwakakakak), <b>ZANTY</b> yang mesti mbanyol, <b>POPON</b> yang mesti rempoooong benjeeeeet, terus temen-temen laen (capek nulisnya nih. :p) yang mesti bikin aku senyuuum . sama terimakasih karena ada <b>DIA </b>yang biarpun aku engga bisa ngedapetin dia aku tetep suayaaaaaaaaaaang bangeeeet sama kamu dan aku berharap perhatianmu buat aku lebih dari sekedar temen . <b><span style="color: red;">LOVE YOU ALL ! :*</span></b><br />
ponpon syalala :)http://www.blogger.com/profile/13081720619708324804noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8246817987932511389.post-25503493942011194672011-03-21T21:24:00.000-07:002011-03-21T21:24:15.240-07:00akuuu sayaaaaang kamuuuu ! :*dulu lho aku kira kamu sama aja kayak temen-temenku yang lain . aku kira kamu ga bakal jadi orang yang spesial soalnya perilakumu yag aneh . tapi engga taunya sekarang akuuu kepincuuut sama kamu ! kamuu lho jadi orang yang spesial bangeeeeet ! gara-gara kamu baik bangeeeeeeeet ! kamu lhoooo sampe rela kehilangaaan pulsa banyaaaak buat nelponin akuuu . padahal aku tau kamu termasuk orang yang jarang banget punya pulsa banyak . kamu rmau habis uang buat ngenet sama akuu berdua . kamu mau main ke rumahku waktu hujan deres kayak gitu . padahal aku yang diem di rumah aja takut . tapi kamu malah nekat pake celana pendek, jaket, kaos, sama jas hujan ngebut ke rumahku . aku lho gatau kenapa aku bisa <b><span style="color: #cc0000;">SUKA </span></b><span style="color: black;">bangeet sama kamu . tapi bukannya orang-orang selalu bilang kalo seseorang jatuh cinta sama orang lain dia ga butuh alasan buat suka sama dia . dan itu yang aku rasain . <u><b><span style="color: red;">AKU SAYANG BANGEEEEEET SAMA KAMUUU !!!! :*</span></b></u></span>ponpon syalala :)http://www.blogger.com/profile/13081720619708324804noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8246817987932511389.post-64287314449775127062010-10-14T18:22:00.001-07:002010-10-14T18:22:46.234-07:00the first time :)yah . setelah selama ini bersusah payah cma buat nulis d blog ini, sekarang tercapai juga nulis d blog . awal bikin blog juga gara'' terinspirasi sama mantan pacar dan sahabat yg punya blog . Lega juga punya tempat buat curahan semua cerita bhagia,sedih, dan aneh . rasanya aneh juga punya blog . ga tau karena pertama kali punya beginian jadiny excited ataupun perasaan aja . dua-duanya kali yaa . XDponpon syalala :)http://www.blogger.com/profile/13081720619708324804noreply@blogger.com0